Penghapusan UN, solusi tuntas pendidikan Indonesia?

Masih saja menjadi pro kontra di masyarakat atas rencana kebijakan yang akan diberlakukan oleh Nadiem Makarim, selepas ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru di era pemerintahan Jokowi periode 2. Kebijakannya yaitu menghapus sistem ujian nasional mulai tahun 2021 mendatang. Beliau mengatakan UN tahun 2020 akan menjadi UN terakhir. Sebagai gantinya, mereka para siswa akan mengikuti asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai syarat kelulusan.

Seperti yang dilansir dari kompas.com, ada tiga alasan mengapa UN perlu diganti dengan sistem ujian lain. Pertama, UN hanya sekadar membuat siswa menghafal. Belum lagi, materi pada mata pelajaran padat. “Karena cuma ada beberapa jam untuk melakukan itu, sehingga semua materi harus di-cover. Ujung-ujungnya ya harus menghafal. Makanya timbul berbagai kebutuhan untuk bimbel dan lain-lain untuk mencapai angka tinggi,” kata Nadiem di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Kedua, kata Nadiem, UN menjadi sumber stres bagi siswa, guru, dan orang tua. Sebab, nilai UN menjadi penentu nilai akhir siswa di masa sekolah. “Di UU sudah dijelaskan bahwa UN adalah untuk mengasesmen sistem. Alasan terakhit, kata Nadiem, UN tidak mampu mengukur kemampuan kognitif siswa. Selain itu, menurut dia, UN tak menyentuh nilai karakter siswa.

Sudah dietahui sejak awal, visi pendidikan di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, Nadiem Makarim, memang untuk mencetak lulusan sekolah yang andal memenuhi kebutuhan dunia usaha. Dan hal ini membuat was-was masyarakat. Penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud pun mendapat kritik dari berbagai kalangan. Sebab, latar belakang Nadiem sebagai pebisnis diragukan untuk memimpin di sektor pendidikan dan kebudayaan.

Kebijakan yang diutarakan beliau tentang penghapusan UN mungkin bisa saja bisa di terima oleh sebagian kalangan. Toh melihat fakta yang terjadi selama ini ketika UN di jadikan standar kelulusan tidak serta merta menjamin output generasi menjadi generasi yang cemerlang.

Kalaupun ada pelajar yang berhasil meraih prestasi dalam olimpiade, sains, olahraga, ataupun seni, hal itu hampir tersapu oleh gelombang badai kenakalan remaja yang semakin dahsyat. Lihat saja, kasus narkoba, pergaulan bebas, tawuran pelajar, kasus asusila dan sederet krisis moral yang menimpa generasi seolah tiada hentinya. Bisakah dibayangkan jika fokus pendidikan hanya pada orientasi kerja dengan mengesampingkan pondasi agama sebagai pembentuk akhlak untuk menjaga moral. Itulah yang terjadi kini, ilmu yang didapat tidak bisa menjadikan generasi beradab.

Tidak bisa dipungkiri, semua problem itu bermuara dari diterapkannya Sistem Kapitalisme dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku, pendapat, beragama dan kepemilikan). Sistem Kapitalisme yang berlandaskan pada akidah sekulerisme telah memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya pelajaran agama dan moral diajarkan di sekolah hanya sekadar ilmu, bukan untuk dipedomani ataupun dijalankan.

Setidaknya ada 4 hal yang mendasari rendahnya moral generasi muda saat ini. Pertama, lemahnya fungsi keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Tugas ini semestinya dilakukan secara optimal oleh ibu sebagai pendidik. Dan ayah sebagai tulang punggung yang membiayai pendidikan anaknya. Namun dengan kondisi keluarga dalam tatanan masyarakat kapitalistik saat ini yang dihimpit oleh kesulitan ekonomi, membuat fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang tua tersibukkan mencari nafkah ketimbang mencurahkan waktu, perhatian, kasih sayang dan pendidikan agama untuk anak-anak mereka.

Kedua, pendidikan kapitalistik. Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan bermoral buruk.

 

Ketiga, rendahnya kontrol masyarakat. Dengan sistem kapitalisme yang terapkan hari ini, tak jarang malah menciptakan masyarakat yang individualis dan hedonis. Ketidakpedulian mulai datang dari masyarakat. Kebanyakan mereka hanya menggunjingkan para pelaku maksiat bukan dengan menasehati mereka pada kebaikan. Abai mereka pun terlihat tatkala membiarkan anak-anaknya melekukan aktifitas pacaran yang jelas-jelas adalah gerbang pertama dari kemaksiatan. Ditambah lagi kurangnya perilaku amar ma’ruf nahi mungkar ditengah-tengah masyarakat. Akhirnya para generasi muda terabaikan dan masyarakat hanya bisa diam saat kemaksiatan yang telah mereka lakukan.

Keempat, abainya pemerintah. Sistem kapitalisme bisa eksis ditengah-tengah masyarakat hari ini tidak bisa dipungkiri karena pemerintah yang telah melanggengkannya. Berdalih dengan asas kebebasan, budaya-budaya barat dibiarkan hadir ditengah-tengah masyarakat hingga menjadi contoh bagi generasi muda. Lihatlah tontonan yang tidak mendidik dibiarkan tayang di televisi sedangkan ceramah – ceramah islam dikurangi keberadaannya bahkan tidak ditayangkan sama sekali. Situs-situs porno dibiarkan bertebaran sedangkan situs-situs islam di blokir secara sepihak. Pengajian yang bertujuan untuk menjaga generasi muda dari pergaulan bebas malah dihalangi bahkan dibatalkan. Begitu juga dengan pendidikan sekuler yang akhirnya menjauhkan peserta didik dari kepribadian Islam.

Ini jauh berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Di mana kurikulum pendidikannya menitikberatkan pada pembentukan akidah Islam. Mata ajaran serta penyampaian pelajaran sepenuhnya di susun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dari asas tersebut. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal, menguasai ilmu terapan ( IPTEK ).  Adapun kurikulum yang diterapkan kepada peserta didik ada 3 hal yang mesti dipenuhi. Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Kedua, menguasai tsaqafah Islam. Yaitu ilmu-ilmu yang menambah pengetahuan tentang islam seperti; konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadist, ushul fiqih, dll. Ketiga, menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik, seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika, biologi, pertanian, pertenakan, penerbangan, teknik, industri makanan, pangan, dll.

Tidak cukup sampai disitu, untuk menghasilkan pendidikan yang optimal maka pendidikan tidak hanya berfokus pada satu tempat saja seperti sekolah atau perguruan tinggi. Tetapi harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul yaitu sinergi antara keluarga, masyarakat dan sekolah yang mengajarkan kepribadian islam, tsaqofah islam dan IPTEK. Dengan demikian akan terbentuklah generasi muda yang pintar, intelek, berkepribadian islam, berakhlak mulia dan berjiwa pemimpin. Maka hanya dengan sistem pendidikan Islam akan melahirkan output generasi yang berkualitas.

(Penulis : Ani Rohaeni, MT Khairunnisa Ciamis)

Facebook Comments