Ketahanan Keluarga, Penopang Kemajuan Bangsa

Ketahanan Keluarga, Penopang Kemajuan Bangsa
Oleh : Watini Alfadiyah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)

Di tengah kuatnya arus liberalisasi ketahanan keluarga merupakan permasalahan yang tidak bisa hanya dipandang sebelah mata. Tentu harus mendapatkan perhatian karena sebagai penopang kemajuan bangsa. Namun, kini Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Dini Purwono, menilai RUU Ketahanan Keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi. Anggota DPR Komisi VIII Ali Taher meminta pihak Istana untuk tak skeptis.
“Jadi apa-apa jangan skeptis dong terkait dengan undang-undang. Kita ini bangsa Indonesia, bangsa besar penduduknya banyak, masalahnya banyak, pengagguran banyak, orang bercerai juga banyak, akibat perceraian, pengangguran, kemiskinan itu berdampak pada kejahatan terhadap anak-anak perempuan dan lain-lain,” ujar Ali Taher ketika dihubungi detikcom, Jumat (22/2/2020) malam.

Ali menilai RUU Ketahanan Keluarga dapat memproteksi keutuhan keluarga. Ia meminta pihak Istana untuk bersama-sama berdiskusi agar dapat memahami seutuhnya rancangan undang-undang itu.

“Saya kira mungkin dia belum baca seutuhnya, dia baca dong secara komprehensif, dari 146 pasal itu, di mana saja pasal yang masuk ranah pribadi kita diskusikan, ini kan juga baru awal, baru permulaan yang mau dibawa ke pembahasan lebih lanjut,” kata Ali.

Menurutnya, pembahasan RUU Ketahanan Keluarga sangatlah urgen. Hal itu dapat dilihat dari meningkatnya jumlah perceraian di Indonesia dalam 8 tahun terakhir.

“Sangat urgen. Perceraian sekarang itu tahun 2018 420 ribu (se-Indonesia), tahun 2013 (ada) 200 ribuan (perceraian), sekarang meningkat tajam 2 kali lipatnya, gimana coba?” tuturnya. (Sabtu, 22/02/2020/detikNews).

Kian terlihat nyata kuatnya arus liberalisasi dan terwujudnya keberhasilan kampanye liberal. Di era liberalisasi ini, RUU seperti itu dianggap sebagai ide yang mengalami kemunduran dan akan menggugat kemapanan. Kemapanan bagi pegiat kesetaraan gender, peran publik perempuan, dan perlakuan terhadap LGBT. Karena hal tersebut telah dianggap terlalu mencampuri ranah privat. Sementara ranah privat merupakan hak asasi manusia.
Jadi, harapan akan terwujudnya ketahanan keluarga dari pembakuan relasi antara suami dan istri, pendidikan dalam keluarga untuk mencegah kekerasan seksual, dan mengobati penyimpangan terhadap seksual justru dipersoalkan.

Pada dasarnya, ketahanan keluarga akan bisa terwujud tatkala diterapkan adanya kebijakan secara integral. Integral dalam arti kebijakan yang menyeluruh dan sinergis antara keluarga, masyarakat, dan negara di berbagai ranah kehidupan. Jadi terkait dengan ketahanan keluarga tidaklah cukup hanya aturan yang menyangkut individu anggota keluarga dan pendidikan di dalam rumah.

Terlebih fakta dalam sistem sekuler terjadi pemisahan antara agama dalam ranah kehidupan. Sehingga hal yang mustahil kalau berhasil membuat kebijakan UU/regulasi keluarga berdasarkan Islam, karena hal tersebut dianggap melanggar prinsip-prinsip sekuler liberal yang dianut.

Bagaimana Islam Mewujudkan Ketahanan Keluarga?

Dalam ranah keluarga

Ketahanan keluarga dalam Islam akan terwujud karena adanya dorongan dalam diri individu muslim berawal dari konsekuensi keimanannya. Sebagaimana Allah Swt. berfirman : ” Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”( TQS. At-Tahrim (66) : 6)

Dengan demikian, dalam ranah kehidupan keluarga akan terbentuk sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Terbentuknya keluarga karena :
Pertama, pondasi dasar dari pernikahan adalah aqidah Islam bukan manfaat ataupun kepentingan. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan, maka segala sesuatu apapun yang terjadi dalam kehidupan keluarga tersebut akan dikembalikan kepada Islam semata.
Kedua, adanya visi dan misi yang sama antara suami dan istri, tentang hakikat dan tujuan hidup dan berkeluarga dalam Islam.
Ketiga, memahami dengan benar fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya semaksimal mungkin menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya.
Keempat, menjadikan syari’at Islam sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarganya. Halal-haram dijadikan landasan dalam berbuat bukan hawa nafsu.
Kelima, menumbuhkan amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama anggota keluarga, sehingga seluruh anggota keluarga senantiasa berjalan pada rel Islam.
Keenam, menghiasi rumah dengan membiasakan melakukan amalan-amalan sunnah serta senantiasa memanjatkan do’a dan bersabar dalam kondisi apapun.

Dalam ranah lingkungan/masyarakat

Masyarakat Islam adalah kumpulan individu-individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang satu yaitu Islam. Dan masyarakatnya saling punya kepedulian satu sama yang lain berdasarkan tuntunan syari’at Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw telah menjelaskan hubungan individu dengan masyarakat ini melalui sabdanya : ” Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas (peraturan) Allah adalah laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian lain di bagian bawah. Jika mereka (yang berada di bagian bawah) membutuhkan air, mereka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Mereka berujar, “Bagaimana jika kami melubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air) sehingga kami tidak perlu sampai mengganggu orang yang berada di bagian atas.” Jika kalian membiarkan mereka berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka, dan seluruh penumpang kapal itu. Namun, jika kalian mencegah mereka, selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain.”(HR al-Bukhari).

Ranah sistem/negara

Negara sangat berperan dalam menjaga terwujudnya keluarga yang demikian, serta dari sisi menjamin tercapainyanya kesejahteraan. Negara disini wajib membuka lapangan kerja bagi warga negaranya. Dan bagi warga negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan asasinya akan di cari kerabatnya, jika masih belum terpenuhi kebutuhan asasinya maka negara yang akan menanggung. Di sisi lain negara akan membentengi keluarga dari kerusakan opini dari konten media massa yang akan di batasi dengan batasan yang tegas. Sehingga ada aturan seperti UU penyiaran, dengan begitu tayangan-tayangan atau tulisan yang merusak aqidah, mengandung pornografi dan pornoaksi serta kekerasan tidak akan diperbolehkan.

Dengan dibangunnya sebuah keluarga yang pondasinya adalah keimanan, lingkungan masyarakatnya saling punya kepedulian berdasarkan syari’at Islam, serta negara melaksanakan riayah/kepengurusan dengan baik berlandaskan aqidah Islam, maka kekerasan dan penyimpangan seksual tidak akan terjadi. Sehingga akan terwujud generasi harapan dari adanya ketahanan keluarga (family resilience) sebagai penopang kemajuan suatu bangsa. Wallahu a’lam bi showab.

Facebook Comments