Opini: Bangsa Bernilai, Bukan Sekedar Pandai

M. Fikry Maulana Hrp
M. Fikry Maulana Hrp

Penulis: M. Fikry Maulana Hrp

ORANG MINANGKABAU terkenal akan pepatahnya yang mempunyai makna yang sangat dalam, salah satunya adalah “Alam takambang jadi guru”. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia, menjadi “Alam terkembang dijadikan guru”. Pepatah ini bermakna ‘agar kita belajar pada alam dan berbagai fenomenanya yang senantiasa mengabarkan sebuah kearifan’.

Jadi apapun yang ada di dunia ini yang berada di depan kita bisa jadi sumber belajar untuk siapa pun. Layaknya seorang manusia yang diciptakan untuk terus belajar namun tak luput untuk jadi orang yang bermanfaat juga bagi orang lain. Belajar tidak melulu tentang nilai dan angka, karena jika hanya mencari itu saja berarti kita cuma menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Bagaimana tidak mementingkan diri sendiri, kita mempunyai slogan ‘berbangsa yang satu, bangsa Indonesia’ tapi masih lupa akan adanya orang-orang di sekliling kita yang sebenarnya sangat membutuhkan kita.

Tetapi kita masih kurang sadar akan hal yang terjadi pada bangsa ini. Bila kita kupas dari kata ‘takambang’ dan ‘guru’ dari pepatah Minangkabau tersebut, sebenarnya kita telah menemukan apa yang kurang pada bangsa Indonesia yang tertuju pada kata ‘nilai’. ‘Takambang’ atau membentang luas, berarti alam raya dan segala isinya yang terbentang luas di hadapan kita. ‘Guru’ bermakna sama dengan guru (dalam bahasa Indonesia), yang berarti apa yang dapat memberikan pelajaran pada kita, atau apa yang dapat kita pelajari darinya. Sebenarnya guru disini bermakna luas, berlaku untung semua orang, baik itu berupa orang dan alam sekitar di segala tempat dan keadaan. Dengan begitu, semua bisa dijadikan tempat untuk mendapatkan pejalaran yang baru yang materinya berbeda-beda pula.

Dari situ kita bisa juga mengaitkannya dengan teori sosiologi, yang menyebutkan kita ini adalah makhluk sosial, yang mana saling membutuhkan, dan juga ‘Agent of change’ yang mengatakan kita sebagai agen perubahan. Dimana kita bisa belajar menjadi bangsa yang memiliki moral, adab, dan yang sekedar pandai. Oleh karena itu, kita bisa menghargai satu sama lain, mendukung satu sama lain. Karena salah satu yang kurang dari bangsa ini adalah ‘Respect’ pada orang. Saling menjatuhkan satu sama lain demi memperebutkan sebuah tahta dengan kepandaian masing-masing yang seret akan penilaian.

Dimana itu sangat banyak terjadi saat ini, walaupun tidak kurang dalam literasi tetapi tetap saja belum memahami. AECT (Association for Education and Communication Technology) menyatakan bahwa sumber belajar (learning resources) adalah sumber baik data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh orang-orang dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah orang itu dalam mencapai tujuan belajar atau kompetensi tertentu.

Jadi, segala sesuatu yang berada di dekat kita bisa bermanfaat untuk kita dan berfungsi untuk membantu optimalisasi aktifitas belajar. Paus Fransiskus juga berpendapat yang sama dengan pepatah orang minang tersebut, sebagaimana ia menemukan alam terkembang sebagai guru. “Sungai tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan”.

Maka dari itu, kita harus banyak belajar dari alam untuk memiliki sebuah arti nilai. Yang makna lainnya kita hidup harus saling memberikan feedback bagi orang lain. Namun dengan begitu kita harus melihat diri kita sendiri juga. Membantu atau berguna dengan memudahkan orang lain tapi jangan sampai menyulitkan diri sendiri. Tetapi sekarang ini orang-orang cuma sedikit yang memperhatikan hal itu, dengan membuat orang lain senang tapi dia tersiksa atau sebaliknya, orang yang dibahagiakan tidak tahu diri atau tidak memandang orang yang membantunya itu. Terlalu senang dengan kebahagiaan yang ia dapat.

Oleh karena itu, kita harus ingat akan apa yang terjadi pada kita sebelumnya. Satu kata yang harus di ingat, ‘Respect’. Itu tidak hanya dilakukan pada sesama manusia tetapi juga pada makhluk lainnya, seperti pada alam yang banyak memberi kita pelajaran tentang kehidupan bangsa yang bernilai. Tak usah terlalu jauh menjadi bangsa yang bermanfaat bagi negaranya, lakukan saja dahulu jadi bangsa bermanfaat bagi bangsa lainnya.

Dengan prinsip-prinsip belajar pada alam, akan menumbuhkan jiwa kemerdekaan, seseorang yang patuh dan hormat kepada kebenaran, dan juga tak luput akan kebajikan, bukan patuh dan takut kepada kewenangan yang tak memikirkan kemaslahatan.

‘M. Fikry Maulana Hrp – Penikmat karya sastra dan Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta’

Facebook Comments