Racun Tahun Baru Masehi, Pesta Pora Penuh Maksiat.

Racun Tahun Baru Masehi, Pesta Pora Penuh Maksiat.
Thama Rostika
FORMASI (Forum Remaja Smart n Syar’i)
Moment pergantian tahun memang senantiasa dinanti oleh kebanyakan masyarakat dunia, tak terkecuali di negri +62 ini. Jika dicermati, perayaan tahun baru masehi dari waktu ke waktu cenderung penuh hura-hura dan huru-hara. Walaupun beberapa tahun belakang ada sebagian wilayah membuat kebijakan seperti dzikir bersama, melarang membakar kembang api dan mercon agar moment pergantian tahun dirasa lebih bermakna, namun pesta pora khas tahunbaruan tetap saja muncul.
Budaya meniup terompet, menyalakan petasan, kembang api, dugem, teriak-teriak dalam pergantian baru, jelas bukan budaya Islam, tetapi budaya kontraproduktif yang tidak hanya merusak mentalitas generasi muda, tetapi juga cenderung menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan atas nama “hedonisme tahunan”. Tidak sedikit, pesta perayaan tahun baru dibarengi dengan meneggak minuman keras, pesta Narkoba, seks bebas, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Sebagian besar dilakukan oleh remaja dan sayangnya banyak pihak ikut ambil bagian dalam pesta pora ini. Cafe, resto, hotel, diskotik, stasiun TV semua ikut berlomba dalam melestarikan keramaikan pergantian tahun yang penuh kemaksiatan ini.
Sesungguhnya pesta pora pergantian tahun baru masehi termasuk perbuatan sia-sia, tabdzir, sangat tidak Islami, dan potensial berubah menjadi ajang kemaksiatan massif. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW memberikan tuntunan yang layak dicontoh, bahwa “Di antara tanda baiknya keberislaman seseorang adalah dia mau meninggalkan apa yang tidak bermanfaat” (HR Muslim).
Racun Pesta Pora Tahun Baruan.
Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakannya tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan apa latar belakang dirayakan hal ini. Kegiatan ini merupakan pesta warisan yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings.
Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. Secara historis, penentuan 1 Januari sebagai tahun baru, awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM). Lalu tahun 1582 diresmikan ulang pemimpin tertinggi Katolik, Paus Gregorius XIII, yang kemudian diadopsi hampir seluruh negara Eropa Barat Kristen sebelum mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752 (www.en.wikipedia.orgwww.history.com).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya (www.en.wikipedia.org).
Berdasarkan fakta di atas, sejatinya perayaan tahun baru Masehi adalah bagian dari hadharah (peradaban) di luar Islam. Sehingga kaum muslim, sebagaimana penjelasan para ulama, dilarang ikut serta memeriahkannya.
Nabi saw melarang kita untuk meniru kebiasaan orang kafir. Beliau bersabda,
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud).
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,
“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”
Mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk melakukan hal itu dengan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
Selain itu, hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi saw datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,
“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Rapuhnya Pemahaman Umat.
Umat Islam saat ini hidup dalam kondisi paling lemah dan mengalami perpecahan. Umat-umat lain memperebutkan kaum Muslim seperti segerombolan semut yang memperebutkan remah-remah roti tak berbentuk. Musuh-musuh Islam telah mendominasi kaum Muslim serta memaksakan kehendak dan keinginannya. Mereka menggiringnya bagai menggiring binatang ternak menuju kehancuran, sedangkan di sisi lain umat Islam bersikap pasrah, lemah tak berdaya.
Pada akhirnya, umat mengubah identitas keislamannya dan menyusupkan secara perlahan-lahan pemikiran Barat berupa sistem peraturan dan gaya hidupnya. Generasi muda tak lagi mengenal Islam kecuali sekadar nama, tidak mengetahui Al-Quran kecuali hanya tulisannya. Islam hanya dipahami sebagai ajaran ritual, ibadah dan akhlak, tak lebih dari itu.
Masih banyak yang tak tahu dan tak mau tahu bahwa Islam sebenarnya juga memiliki solusi untuk masalah muamalah maupun berbagai interasi antarmanusia. Suka atau pun terpaksa, generasi muda justru bertahkim kepada sistem peraturan Barat yang menyesatkan akidah.
Mereka berpikir seperti cara Barat berpikir, berorientasi seperti orientasi mereka, bahkan dengan bangga berguru kepada mereka. Itu semua dengan alasan demi pemikiran dan ilmu yang akan menjadi pedoman hidupnya.
Seperti halnya dalam perayaan tahun baru banyak dari kaum muslimin sendiri yang tumpah ruah ikut memeriahkan pergantian malam tahun baru Masehi. Berbagai atribut tahun baru seperti terompet, topi kerucut sanbenito, kembang api dan yang lainnya sudah menjadi kelaziman untuk dikenakan dengan tanpa beban. Dan ini dijadikan ladang bisnis yang menggiurkan.
Momen pesta kembang api menjadi bisnis gurih beromset triliunan rupiah.
Mirisnya lagi, pada malam pergantian tahun baru angka kemaksiatan melambung tinggi. Free sex, mabuk-mabukkan, dan aktivitas amoral lainnya menghiasi momen tahunan tersebut. Dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Bagaimana mungkin umat muslim akan bangkit jika masih terus membebek budaya Barat dan tidak melek hadharah (peradaban) kufur? Maka benarlah sabda Rasulullah SAW “Sungguh kalian akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lubang biawak gurun tentu kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
FORMASI (Forum Remaja Smart n Syar’i)
Facebook Comments